Tuesday, March 29, 2011

Terlalu Sama



Hampir setengah jam aku berdiri di sini, setelah tadi  berlari berusaha mengejar bis yang biasa lewat blok tempat aku tinggal. Percuma, bis itu tetap saja tidak berhenti. Akhirnya aku kembali ke mahattah, menunggu dan berharap akan ada bis yang bisa aku naiki untuk pulang. 

Angin akhir musim dingin menepuk- nepuk pipiku. Memainkan kerudung, membuatku lebih merapatkan jaketku sekedar mengurangi rasa dingin yang mencoba menyusup. Aku juga ingat, beberapa tahun lepas ketika kau masih ada, kau sering mencandaiku dan membuatku lupa cuaca Kairo yang dingin karena sepanjang jalan kau buat aku tertawa. Sayang, waktu terlalu cepat menyeret semuanya.

Kusipitkan mata mencoba membaca jurusan tiap bis yang lewat. Sedikit kecewa, akhirnya aku memilih duduk di bangku mahattah itu. Kulanjutkan menyipit- nyipitkan mata, semoga bis yang kuharap segera lewat. Bisikku dalam hati sembari berjanji tidak akan pulang selarut ini. 

Lampu- lampu di pinggir jalan, angin malam. Diam- diam aku menikmati suasana ini. Bapak- bapak di sampingku menannyakan apakah bis nomor sekian lewat di mahattah ini? Aku mengagguk kecil sambil sedikit tersenyum. 

Kutatapi jalanan beraspal itu, setenagh putus asa, dan seorang pemuda manis berlari kecil menyebranginya. Orang Indonesia, tebakku. Pemuda itu kemudian duduk d bangku pas di sisi kiriku dengan menggsok- gosok kedua telapak tangannya dengan sesekali meniupnya.  Sisa parfumnya yang menguap dari tubuhnya yang tegap, dan lagi- lagi mengingatkanku padamu. Wanginya juga, serupa benar dengan wangi parfummu. Pemuda itu tersenyum, aku membalasnya sambil mengangguk kecil. Senyumnya juga senyummu.

 Aku menarik dalam- dalam nafasku. Entah, sepertinya semuanya seperti menjadi satu menjadi sebuah pusaran yang menyeretku lebih dalam untuk mengingatmu. Semuanya; malam yang dingin, lampu- lampu sepanjang jalan, kerudungku yang dimainkan angin,  wangi parfum, bahkan jam tanag berwarna hitam yang melingkari pergelanagn tangan pemuda tadi.  Gerakannya melihat jam tangannya begitu mirip dengan gayamu melihat jam tanganmu yang juga berwarna hitam ketika itu.  

Di mahattah ini juga beberapa tahun silam, dan kau menunggu bis untuk  mengantarku pulang ke rumah. "Harus diantar sampai depan rumah, mama kaka selalu pesan gitu", ujarmu ketika aku menolak untuk diantar. 

Aku tiba- tiba sangat merindui awal- awal ketika kita baru saling kenal. Aku tersenyum getir. Mengingatmu tak lagi manis, tapi nyeri. Lalu aku melangkah gontai menaiki bis yang dari tadi aku tunggu. sepanajng jalan aku mencari cara untuk menghapus bayangmu, supaya malam ini aku dapat tidur lelap.


@@@

No comments: