Sunday, October 23, 2011

Sekian dari Waktu


Sekian dari waktu dengannya kuraih engkau 
Entah berapa lagi darinya kubutuh untuk menghapus engkau 


Engkau yang pernah satu dengan ketiadaan 
Engau yang pernah satu dengan doa dan munajat
Engkau yang kembali harus kusatukan dengan ketiadaan 


Sekian dari waktu dengannya kupinjam engkau 
Entah berapa lagi darinya kubutuh untuk (ikhlas) meletekkan kembali engkau

Kereta Api


Aku di belakangmu terus mengikutimu .
Dia di belakangku mengikutiku .
Tanpa tahu dia juga mengikutimu 


Mungkin harusnya kau menoleh kepadaku 
agar dia di bealakangku tak terus mengikuti aku 


Atau mungkin harusnya yang di depanmu yang menoleh padamu 
agar aku di bealakangmu tak terus mengikutimu 

Ki & Ta


Aku mulai membacamu 
lewat baris- baris jarak beda antar ki dan ta
kupandanginya indah,
tiap tepinyaa; renda rindu 
ya, rindu
rindu pada apa 
pada siapa
seperti apa
entah


Aku mulai membauimu 
lewat udara- udara yang mengitari ruang beda antar  ki dan  ta
kuhirupinya dalam, 
tiap molekulnya; gumpalan harap
ya, harap
harap pada apa
pada siapa
seperti apa
entah



Malam- 
aku lelap di lenganmu.
terus merapat pada degup-mu.
juga,
akhir- akhir yang kian meng-entah itu

Terbang


Dibuatmu separuhku hilang 
hilang yang hitam 
pun tanpa temaram
ditembusnya batas remang


dibuatmu separuhku hilang 
hilang yang mati 
jangan nafas, 
geliatnya tiada lagi



dibuatmu separuhku hilang 
melesati malam 



dibuatmu separuhku hilang 
tangkap, beri tentram 

Purna Paruh Langkah


Bila di atas sudah,  tak ada lagi anak tangga
Kusebut engkau enggan disahutmu 


andai ketiadaan pada ketiadaanya tak saling kenal 


bila di atas sudah,  tak ada lagi anak tangga
kusebut engkau, masih enggan disahutmu


andai ketiadaan pada ketiadaanya tak saling kenal 


bila di atas sudah,  entah akan (kah)  lagi ada anak tangga
harus kucari setapak baru
agar purna paruh langkahku 


karena ketiadaan kepada ketiadaannya (ternyata) tak (akan pernah) ada.

Nuriya


malam ini kau lahir diisak jeritmu, manisku  
malam ini kau lahir sedang bulan sedang berduka
putihnya tertandingi yang lebih berkilau; engkau , manisku

sunyikan malam jika kau lelah kemudian lelap
kudekap kau , dengan tanganku
seperti telah 9 purnama kau dekap aku , dengan ruhmu

manisku, dengar debur ombak di dada ibumu ini
didalamnya juga relungnya milikmu
ada cinta rindu yang selalu 
tak akan pernah kenal tepi

p a d a m u

Andai Masih Sendiri


*maksudnya, andai masih "single" :P 




ah engkau 
andaikan sendiri dan kita tak lagi ada
bagai aku


kita dapat bebas bersenandung 
menyeruling rindu pada guci malam


ah engkau 
adaikan sendiri dan kita tak lagi ada
bagai aku 


kalaupun pecah 
turut kubentur rapuh bersama harummu
biar remuk menyatu tanpa darah
lalu kau percaya bahwa aku padamu selalu

K a r e n a m u


Dia adalah ingatan menari di bawah hujan


Aku teruskan lari kecilku menembus tirai air
demi apa jika nanti akhirnya kuperdulikanmu
karena tanpa tanganku menarikmu 
pun kau terjatuh ke tanah 
dan basah
lalu bercak- bercak coklat di betisku 
karena mu

k a r e n a  m u

Transformasi


tiga bulan di sana mungkin banyak berubah 
entah merubah bahagia jadi luka
entah menghapus luka menjadi bahagia


Lalu kemudian ada hati yang menuntut kembali 
bahagia yang sempat kemudian menjadi terampas
Demi malam- malam yang terlanjur pergi
apa yang terampas tak akan lagi kembali 

Lengan Putih


mungkin mendekap mimpi. 
mimpiku terdekap lengan- lengan putih 
walau mungkin kadang tanpa yakin
lengan itu mendekap lebih dari dari mimpi
di sana didekap juga hatiku

Libertad

Ingin tapi tidak bisa 
Lalu kemudian bisa tapi tak ingin. 
Bisa, tapi tak ingin 
Sungguh telah bisa 
Demi indah matamu 
Hati dan mataku 
Tapi tidak ingin 
Kau buat aku tidak ingin.. 

Akhirnya aku padamu tanpa ingin 
Sungguh padamu aku tanpa ingin (lagi) 
Lelahkah kau,jiwa ? 
Jiwaku lelah. 
Sudah 
Sudahlah.

Terlanjur Hilang


aku ingin ramai 
yang sempat di telan senja
dihalang jingganya yang men-sayapi sepi 
untuk terbang, tinggi demi membeku


aku ingin ramai
memecah dingin matamu yang menusuk 
matamu yang menusuk
menusuk hingga memisah ari kulit dari rasa perih.


aku ingin ramai


demi warna yang sudah terlanjur hilang.
Warna yang terlanjur hilang
Sudah hilang

Wangi Laut


Engkau benar mencari pantai, 
melepas satu persatu rajutan mimpi di bawah terik mentari 
Jika tak juga sampai pantai, 
lepas saja rajutannya di pasiran putih 


Engkau benar mencari pantai, 
melepas satu persatu rajutan mimpi pada debur ombak 
Jika tak juga sampai pantai, 
lepas saja rajutanya di manapun kau mampu mencium wangi laut

Eskrim Bulan


A: "Mana cangkirmu?"
B: "Di dapur, barusan kucuci"
A: "Oia, malam ini kita makan saja eskrim caramel di kulkas itu"
B: "Jangan!"
A: "Pelit sekali kamu"
B: "Itu bukan eskrim, itu Rembulan yang semalam aku tarik  paksa dengan kail perak"
A: "Bulannya gak sehat, warna kekuningan"
B: "Itu karena terlalu pekat ia merindu, jadi kekuningan"
A: "Sudahlah, nanti kusendoki dia, lalu kulumuri saus cokelat. Aku pinjam cangkirmu ya"
B: "Jangan dimakan, aku baru berpikir akan mengembaikannya saja"
A: "Untuk apa kau kembalikan?"
B: "Harus sampai kapan malam tanpa rembulan?"
A: "Dengar, tidak ada lagi yang perduli tentang rembulan. Lampu- lampu di sepanjang jalan itu, apa belum juga cukup?"
B: "Masih ada kok"
A: "Siapa? Pasangan- pasangan romantis?"
B: "Ah, kamu ini"
A: "Malam ini Kairo panas, eskrim Bulan kukira pilihan yang tepat"
B: "Terserah kamu mau comot apa saja yang ada di kulkas, tapi janagn  sentuh Bulan itu"
A: "Dari yang lain, cuma Bulan itu yang menggoda"
B: "Aku ingin mengaitkannya lagi di telinga malam"
A: "Kapan?"
B: "Sampai kemuningnya memutih"